Kala
itu, saya tidak kebagian tempat duduk. Alhasil, saya harus berdiri dengan
bawaan saya yang cukup banyak. Pundak dan betis pun terasa sangat pegal. Maklum,
saya harus berdiri selama kurang lebih dua setengah jam. Biasanya, waktu tempuh
hanya 45 menit hingga satu jam. Saya pun hanya bisa “menikmati” apa yang saya
rasakan ini.
Ada
pemandangan tak biasa yang saya temui saat itu. Ketika bus berada di sekitar Bunderan
HI, saya melihat seorang bapak tua yang membantu pemuda yang hampir pingsan. Wajah
laki-laki, yang saya perkirakan berusia sekitar 25 tahun itu, terlihat pucat. Wajahnya
penuh dengan peluh, napasnya tersengal-sengal. Bahkan, ia pun tak sanggup membuka
matanya.
Di
saat penumpang lain hanya melihat pemuda itu, bapak tua itu sibuk membantu
pemuda itu duduk. Ia bertanya kepada penumpang lain adakah yang membawa minyak
angin. Beruntung, salah seorang penumpang mau meminjamkan minyak angin miliknya.
Seketika, bau khasnya semerbak memenuhi bus.
Bapak
itu amat perhatian. Ketika mengetahui tujuan pemuda tersebut masih jauh, ia
menyarankan untuk naik ojek saja. Kekhawatiran akan menjadi korban kejahatan
menjadi alasan utama. Tak hanya itu, ia memberikan nasehat kepada pemuda
tersebut. “Kalau udah sampai rumah, minum teh manis,” kata bapak tua itu dengan
lembut.
Sungguh,
pemandangan yang cukup langka ditemukan di Jakarta. Di saat kebanyakan
masyarakat hanya bisa menonton atau menyaksikan (seperti peristiwa kebakaran,
kecelakaan, dan lainnya), masih ada sebagian warga yang mau membantu orang yang
sedang kesusahan. Ternyata, masih ada kepedulian di antara ketidakpedulian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda sungguhlah berarti... :)