Siapa yang tidak
mengetahui tentang media sosial? Media yang saat ini banyak digunakan
masyarakat, terutama kaum muda. Menulis status di media sosial seakan telah menjadi
sebuah kebutuhan. Tanpa disadari, menuliskan status bagaikan pisau bermata dua.
Media
sosial memudahkan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain di
sekitarnya. Salah satu yang digemari saat ini adalah Facebook. Menurut
iCrossing, perusahaan konsultan iklan di Inggris, Maret 2011, Indonesia
menempati rangking kedua pengguna Facebook terbesar di dunia dengan lebih dari
35 juta pengguna.
Hasil
riset Ipsos Indonesia, lembaga riset independen, pada Oktober 2011 menyebutkan
pengguna Facebook di Indonesia rata-rata mengunjungi Facebook 23 kali dalam
sebulan dan menghabiskan 5,5 jam dalam sebulan untuk mengakses situs jejaring
sosial itu.
Adapun
untuk Twitter, 4,5 juta orang Indonesia menggunakan situs micro-bloging ini. Indonesia menjadi negara terbesar ketiga
pengguna twitter di dunia yang aktif mengirim sekitar 1,29 juta tweet per hari.
Pertumbuhan
media sosial tidak lepas dari pertumbuhan pengguna internet. Menurut data
statistik yang dirilis Internet World Stats, tahun ini pengguna internet di
Indonesia mencapai sekitar 30 juta user.
Sementara hasil riset yang dilakukan oleh MarkPlus Insight memberikan
indikasi bahwa rata-rata pengguna internet di Indonesia mengakses
melalui smartphone dan notebook.
Dengan
maraknya gadget baru yang berkembang dan ditunjang pula oleh semakin
terjangkaunya harga paket mobile internet
yang ditawarkan oleh operator seluler, pengguna internet yang juga pengguna
media sosial semakin banyak di Indonesia. Teknologi yang makin maju membuat
kita dapat mengaksesnya kapan saja dan di mana saja. Kita bisa meng-update status dengan mudah dan dalam
waktu yang singkat.
Eksistensi
Psikolog yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Debora Basaria mengemukakan, banyak faktor yang membuat anak muda menggandrungi media sosial. “Mungkin ada kebutuhan eksistensi, untuk diakui dan diketahui banyak orang,” paparnya.
Selain itu, media sosial dianggap cara yang paling aman untuk menyalurkan perasaan. Media ini dapat menjadi tempat untuk mencari support atau afeksi dari orang lain.
Debora Basaria |
Masalah
yang kemudian muncul, media sosial yang bersifat tidak langsung, tidak memiliki
feeling atau perasaan. Sebuah status
bisa dimaknai negatif oleh orang lain. Meski tulisan itu disertai emoticon, tetap saja tidak memiliki
perasaan. “Untuk mengurangi misperception,
sebaiknya bertemu langsung daripada menuliskan status,” ujar Debora.
Hadirnya
media sosial membuat mereka digiring menjadi pribadi yang memiliki banyak teman
meski tidak dikenali dengan baik. Mereka berkembang menjadi pribadi yang
narsistik. Media sosial telah menjadi gaya hidup yang kemudian dianggap sebagai
sebuah keharusan yang menimbulkan perilaku ketergantungan. “Adiksi merupakan
sesuatu yang berlebihan dan sesuatu yang berlebihan itu tentu saja tidak baik,”
katanya.
Boleh-boleh
saja, tapi?
Agar
tidak timbul masalah, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, salah satunya
adalah mengendalikan diri. Kita harus bisa menetapkan rambu-rambu (aturan) yang
jelas tentang apa yang pantas dan tidak pantas untuk disampaikan. “Baik yang
menuliskan status maupun yang membaca atau ingin mengomentarinya, sebaiknya
memiliki etika. Itu penting,” kata Debora.
Kita
juga harus bisa menggunakan media sosial untuk hal-hal yang bermanfaat. Kita
bisa menuliskan status tentang kata-kata mutiara atau yang memotivasi. Itu
dapat memberikan efek positif bagi orang di sekitar kita.
Untuk
menilai sesuatu bermanfaat atau tidak, kita dapat melihat dari kontennya.
“Kalau untuk mengungkapkan perasaan terhadap orang lain, akan lebih baik
bertatapan. Tapi, kalau untuk mengeluarkan unek-unek,
tidak ditujukan pada suatu orang secara eksplisit, tidak apa-apa,” ujarnya.
Menulis
status di media sosial boleh-boleh saja, asal jangan sampai kecanduan,
perhatikan konteks dan etikanya. Selamat bersosialisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda sungguhlah berarti... :)