Aksi
demonstrasi yang terjadi sejak Selasa, 27 Maret 2012, menunjukkan bahwa rakyat
dengan tegas menolak kenaikan harga BBM bersubsidi per 1 April 2012 mendatang.
Unjuk rasa tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga di berbagai kota
lainnya di Indonesia. Sebagian besar demo berakhir ricuh dan anarkis, suatu
peristiwa yang sangat disesalkan harus terjadi!
Demontrasi
pada Jumat, 30 Maret 2012, di depan Gedung DPR, Senayan seakan menjadi klimaks
kekesalan mahasiswa dan rakyat yang asprasinya tidak ditanggapi anggota DPR. Mereka
harus menunggu Rapat Paripurna yang diskors hingga lima jam lebih tanpa
kepastian kapan dimulai. Padahal, hasil akhir rapat itu sangat menentukan nasib
rakyat.
Setelah
rapat dimulai pun, rakyat tidak bisa langsung mengetahui hasilnya. Sidang
diwarnai dengan hujan interupsi, saling sindir, hingga sempat terjadi
kericuhan. Setelah menunggu cukup lama, rakyat hanya bisa gigit jari dengan
keputusan sidang yang menyetujui opsi 2, yaitu adanya penambahan pada Pasal 7
Ayat 6a yang memungkinkan adanya kenaikan harga BBM bersubsidi jika harga
minyak Indonesia (ICP) berada di atas 15% dalam 6 bulan. Ini artinya, harga BBM
bersubsidi bisa naik sewaktu-waktu mengikuti harga minyak dunia.
Mereka
yang memilih opsi 2 adalah partai politik yang bermuka dua. Mereka dengan tegas
menyatakan menolak kenaikan harga BBM pada 1 April, namun malah memilih opsi
memberikan ruang untuk kenaikan harga BBM di kemudian hari. Inilah bentuk
ketegasan dalam ketidaktegasan! Kalau memang menolak kenaikan harga BBM, kenapa
harus memberi ruang bagi pemerintah untuk menaikan harga mengikuti harga pasar?
Sungguh, suatu langkah yang hanya mengandalkan citra pro kepada rakyat, tetapi
memilih keputusan yang pro pada kepentingan politik golongan tertentu.
Hasil
itu memang sungguh mengecewakan rakyat. Aksi demonstrasi tolak kenaikkan harga
BBM seakan menjadi sia-sia karena keputusannya tidak memihak kepada rakyat. Kini,
masyarakat harus menunggu (lagi) dalam ketidakpastian, padahal harga kebutuhan
pokok sudah terlanjur naik. Yang jelas, jeritan masyarakat Indonesia sudah
tidak lagi didengar “wakil rakyat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda sungguhlah berarti... :)