Senin, 26 November 2012

Menggambar dengan Hati

PICASAWEB.GOOGLE.COM
Pria yang bernama lengkap Muhammad Nashir Setiawan ini lahir di Banjarnegara tahun 1967. Ia memperoleh gelar Sarjana Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tahun 1993. Ia melanjutkan studi S2 di Universitas Gadjah Mada pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa tahun 2001.
Pada tahun 1991, Nashir magang di biro konsultan interior, PT Intercipta Bahana dalam proyek renovasi Hotel Horizon Jakarta, Hotel Horizon Bandung, dan Hotel Kartika Chandra Jakarta. Ia dipercaya sebagai desainer kantor Konsultan Exhibition PT Cipta Caraka Cipta pada 1993-1996. Ia pernah menjadi anggota tim perancang pavilion Indonesia di Hannover Messe pada 1994 dan 1995.
Tahun 1996 hingga kini, ia mengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Tarumanagara, Jakarta. Ia pernah menjadi Ketua Program Studi Desain Interior pada tahun 2006-2010. Saat ini, ia menjabat sebagai Pembantu Dekan bidang Akademik periode 2010-2014. Selain itu, ia juga menjadi dosen tamu di Universitas Indonesia, Universitas Trisakti, Universitas Pelita Harapan, Universitas Petra Surabaya, Institut Kesenian Jakarta, Esmod Jakarta, Raffles Design School, STDI Interstudi, Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara, dan Universitas Mercu Buana.
Tidak hanya berkecimpung di dunia akademik, ia memiliki aktivitas lain seperti menjadi anggota Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII), bagian program pada Komunitas Indonesia’s Sketchers, desainer stand pameran, serta pemerhati komik, kartun, dan karikatur.

Perjalanan Hidup
Sejak kecil, Nashir menempuh pendidikan di Pondok Pesantren. Namun, Nashir merasa dia tidak begitu nyaman belajar di pondok. Ia pun bertanya kepada beberapa orang (dekat), apakah ia lebih cocok tetap di pondok pesantren atau di sekolah umum. Orang di pondok itu berpendapat bahwa Nashir lebih kuat di sekolah umum. Ia tidak hanya asal berpendapat, ia juga melihat dari sosok Nashir yang sepertinya juga menginginkan untuk bersekolah di sekolah umum. Nashir pun mengikuti kata hatinya, mewujudkan apa yang selama ini ia inginkan.
Ia melanjutkan pendidikan SMA di salah satu sekolah di Yogyakarta. Setelah selesai menempuh pendidikan SMA, ia melanjutkan studi ke Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, mengambil jurusan Desain Interior. Pada saat kuliah, ia merasa lebih terarah dalam mengembangkan talentanya yang sudah ada sejak dulu, yakni menggambar. Ia pernah mendapatkan tugas untuk menggambar sketsa sebanyak-banyaknya selama satu semester. Ia pun membeli kertas satu rim untuk menyelesaikan tugasnya. Tantangan tidak sampai di situ. Ia harus menggambar sketsa tidak dengan pensil, melainkan dengan tinta cina. Dia ingat betul, tidak ada istilah salah gambar dalam tugas ini. Sekali salah, harus mengulang dari awal.
Saat memasuki semester 6, Nashir mengalami kebimbangan. Ia merasa kegemarannya menggambar tidak begitu tersalurkan di jurusan Desain Interior. Di sana, ia diajarkan beberapa mata kuliah yang bersifat teknis, seperti gambar teknis, konstruksi bangunan, dan lainnya. Ia bisa mengikuti pelajaran tersebut, namun secara kejiwaan, ia tidak terlalu suka. Ia merasa passion-nya bukan di Desain Interior.
Ia berencana untuk pindah jurusan ke Desain Komunikasi Visual (DKV) karena di sana lebih banyak mata kuliah yang mengharuskan untuk menggambar. Ia pun menemui ketua jurusan DKV. Ia bercerita tentang rencana kepindahannya itu, namun ketua jurusan menyarankan untuk tidak pindah jurusan, apalagi Nashir sudah menempuh kuliah selama 6 semester. Ia pun mengikuti saran tersebut dan melanjutkan kuliah di Desain Interior meskipun ia merasa ada sesuatu yang “kurang.”

FOTO: VIDYADI
Hasil karya Nashir: Menakar Panji Koming dan Sk3tsa (launching pada 21 April 2012)

Sebelum lulus, ia mengikuti kerja praktek di Jakarta. Selesai kerja prektek, ia kembali ke Yogyakarta. Teman-temannya mengetahui ia baru selesai kerja praktek di Jakarta. Ia pun diminta untuk mengantar ke tempat kerjanya di Jakarta. Saat pergi lagi ke Jakarta, ia menyempatkan diri untuk datang ke tempat kerjanya. Entah, suatu keberuntungan atau tidak, ia “ditahan” di Jakarta. Ada pekerjaan yang belum selesai dan Nashir diminta untuk menyelesaikannya. Alhasil, ia memutuskan tinggal sementara di Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaan di kantornya sekaligus menyusun proposal skripsi.
Nashir pun harus bolak-balik Jakarta-Yogyakarta, ke Yogyakarta untuk menyerahkan proposal skripsi dan ke Jakarta untuk menyelesaikan proyek. Satu tahun setelah mengikuti kerja praktek, ia menjalani magang. Ia merasakan pentingnya mengikuti magang. Ia mendapatkan banyak hal positif selama ia magang, seperti mendapat banyak pengetahuan, pengalaman kerja, surat keterangan kerja, dan lainnya. Setelah selesai magang, ia kembali ke kampus untuk menyelesaikan tugas akhir.
Setelah lulus, ia merasakan manfaat mengikuti magang. Ia tidak perlu susah payah mencari kerja, pekerjaan lah yang menghampirinya. Ia mendapat banyak tawaran untuk bekerja. Mungkin karena masih ingin mengejar passion, ia memutuskan bekerja di tempat yang menyediakan perlalatan gambar yang lengkap. Bukan melihat dari kantor, bukan melihat lokasinya, tapi ia memilih pekerjaan berdasarkan kelengkapan alat gambar yang ada.
Ia pun memutuskan untuk bekerja di konsultan interior. Karena masih terobsesi dengan kegemarannya menggambar, ia pun pindah ke konsultan exhibition. Di situ, ia bekerja membuat stand untuk pameran. Ia merasa senang dengan pekerjaan barunya ini. Ia menggambar untuk ekshibisi, disetujui klien (deal), dan langsung dikerjakan. Ia pun dapat segera mewujudkan rancangan gambarnya menjadi pameran yang sesungguhnya.
Namun, di sela-sela kegembiraannya itu, Nashir “tumbang.” Ia mengalami gejala tifus dan harus dirawat selama 10 hari. Ini terjadi akibat pola makannya yang tidak teratur ditambah dengan seringnya begadang sehingga kurang istirahat. Sejak saat itu, ia bekerja di bagian perancangan dan tidak lagi keluar lapangan. Akan tetapi, ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Bukan karena masalah fisik, tetapi karena solidaritas pertemanan. Satu teman dikeluarkan, semuanya keluar. Nashir pun ikut keluar untuk menjaga pertemanan yang sudah terjalin. Tidak selamanya yang buruk terlihat buruk. Keluarnya Nashir dari tempat kerjanya ini menjadi momentum untuk memikirkan kembali apa yang ingin ia capai ke depan.

FOTO: VIDYADI
Ilustrasi cover Berita Tarumanagara volume 78, edisi Januari 2011 karya Nashir.

Ia berpikir bahwa ia tidak akan berkembang jika tetap berada di bidang ekshibisi atau interior. Ia ingin belajar sesuatu hal yang baru dan tempat yang mendekati untuk belajar kembali adalah kampus. Ia sempat berdiri cukup lama di depan Kampus 2 Untar, mempertimbangkan kembali niatnya untuk bekerja di kampus. Selama 6 bulan, Nashir memutuskan untuk bekerja sebagai freelance. Tidak semua pekerjaannya berhubungan dengan interior, ada pula pekerjaannya yang berkaitan dengan menggambar.
Setelah 6 bulan berlalu, ia pun memilih mengajar sebagai dosen di Untar. Saat datang ke Untar, ia tidak langsung melamar sebagai dosen. Ia hanya ingin mengamati seperti apa Untar itu, gaya mengajarnya seperti apa. Ia bertemu dengan beberapa dosen dan diminta menggambar denah ruangan. Ia dapat menyelesaikan gambar tersebut dalam 30 menit. Dosen itu pun terkejut melihat ia bisa menggambar secepat itu. Nashir pun mengatakan bahwa ia bisa lebih cepat lagi, mengingat ada sejumlah percakapan saat ia menggambar. Saat menggambar lagi, Nashir dapat menyelesaikannya dalam 15 menit. Ia pun diminta langsung bekerja. Nashir pun sempat kaget dengan proses rekrutmen yang begitu cepat. Ia langsung mengikuti rapat menyusun rencana program ke depan. Ia pun kembali terkejut karena merasa masih orang baru di Untar namun dipercaya mengikuti rapat yang penting.
Setelah mengajar cukup lama, ada keinginan untuk melanjutkan studi S2. Pihak Untar pun mengizinkan dan ia mengambil S2 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia memilih jurusan yang masih berhubungan dengan gambar-menggambar. Menjadi dosen pun, ia mengajar mata kuliah yang berhubungan dengan menggambar. Saat ia mengajar mata kuliah yang cukup banyak, ia mendapatkan pengalaman yang baru, yaitu bisa mengenal banyak mahasiswa. Namun, ia merasa pola seperti tidaklah baik, hanya berada pada lingkup itu-itu saja, berjalan dari semester ke semester berikutnya. Ia pun mencoba mengambil sedikit mata kuliah dan mengajar sebagai dosen tamu di universitas lain. Ia pun bisa memperluas wawasannya dengan mengajar di tempat lain.

FOTO: VIDYADI
Sketsa yang digambar berdasarkan kejadian sehari-hari.

Bakat dan latihan
Menurut Nashir, untuk menghasilkan gambar yang baik diperlukan waktu untuk berlatih terus menerus. Memang bakat mempengaruhi bagus tidaknya suatu gambar, namun tanpa latihan yang cukup, bakat yang ada menjadi kurang bermanfaat. Ia mencontohkan saudaranya yang memiliki bakat di bidang menggambar. Nashir mengakui gambar saudaranya jauh lebih bagus daripada gambarnya. Namun, saat mendaftar untuk kuliah di ISI, Nashir yang diterima. Ini dikarenakan Nashir memang suka menggambar, mempelajari hal-hal yang baru, dan tidak bosan untuk berlatih.
Kecintaannya pada menggambar membuat hari-harinya dipenuhi dengan aktivitas menggambar. Dia menunjuk-kan sebuah buku kecil yang dibuatnya menjadi buku sketsa. Di sana, terlihat berbagai macam gambar yang terinspirasi dari pengalamannya sehari-hari. Ia mampu membuat gambar yang sebenarnya terlihat kurang menarik menjadi gambar yang indah dilihat.

Muncul dari mana saja
Melihat hasil karyanya yang begitu indah, tentu banyak yang ingin tahu dari mana datangnya ide-ide tersebut. Nashir menjawabnya dengan begitu sederhana, “Ide itu macam-macam. Bisa dari lihat dari lingkup peristiwa, bisa dari bacaan. Banyak hal yang bisa membuat kita memunculkan ide.”
Media gambar yang digunakan Nashir tidak selalu di atas kertas. Saat selesai makan di wadah berbahan styrofoam, ia memiliki ide untuk menggambar di atas wadah styrofoam. Wadah itu pun laku saat dijual. Ide memang dapat muncul dari mana saja. Saat ia melihat tumpukan kardus atau karton bekas pembungkus produk (seperti air mineral dan sebagainya), ia pun segera menggambar di atas media itu. Secara spontan, ia melukis hal-hal yang ada disekelilingnya. Media gambar yang berbeda-beda tidak menjadi halangan baginya untuk menggambar. Justru, media-media sulit seperti styrofoam, karton, kaos, akrilik, dan media lainnya menjadi sebuah tantangan yang menarik untuk ditaklukan.
Sadar bahwa ide bisa datang tak terduga, ia membawa peralatan gambar ke mana pun ia beraktivitas. Peralatan gambarnya cukup praktis untuk di bawa ke mana saja, hanya satu buah kotak berisi sejumlah peralatan gambar. Sayang, saat itu ia tidak sempat menunjukkan “teman”nya itu saat bepergian.

FOTO: VIDYADI
Pengamatan yang dituangkan dalam bentuk sketsa.

Musik, atasi jenuh
Dalam setiap aktivitas yang dijalani, seringkali ditemui hambatan atau masalah. Begitu pula dengan Nashir. Dengan berbagai aktivitas yang dijalani, ia pun mengalami kejenuhan. “Pasti ada masa itu, tapi sebenarnya tinggal bagaimana kita menempatkan pikiran kita saat kita jenuh,” ujar Nashir. Untuk mengusir rasa jenuh, ia beralih ke kegiatan atau hobi lain yang ia sukai, salah satunya adalah bermain musik.
Di saat ia jenuh menggambar, ia bermain gitar. Tidak hanya bermain saja, tapi ia juga menciptakan lagu. Salah satu karyanya dinyanyikan oleh anak didiknya yang sudah lulus, dibuat sebagai perpisahan saat kelulusan mahasiswanya yang cukup dekat. Selain itu, ia juga membuat lagu yang akan dinyanyikan pada saat peluncuran bukunya tanggal 21 April 2012.

Mimpi keliling dunia
Saat ditanya impiannya yang belum terwujud, ia menjawab ingin keliling dunia dan membuat sketsa perjalanannya. Memang, ke mana pun ia pergi, seni (khususnya gambar sketsa) akan selalu mengikutinya. Tidak hanya itu, masih banyak impian yang saat ini belum terwujud, seperti membuat buku cerita anak-anak bergambar, mempunyai tempat untuk anak-anak belajar mengenai kreativitas, dan membuat album serta klip untuk lagu ciptaannya. Namun, di antara mimpi-mimpi itu, ada yang sedang dalam tahap progress, yaitu menunaikan ibadah haji.
Nashir Setiawan memang sosok kreatif yang mampu memberikan inspirasi dari kisah hidupnya. Seni memang sudah mendarah daging dalam kehidupannya. Seni lah yang membawanya hingga hari ini. Di sini kita bisa belajar bahwa kreativitas bisa datang dari mana saja. Orang biasa pun bisa menjadi luar biasa asal ia mau belajar dan menggunakan kesempatan yang ada sebaik mungkin



FOTO: JESSICA NOVIA
     Foto bersama Nashir Setiawan di ruangannya, FSRD Untar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda sungguhlah berarti... :)