PICASAWEB.GOOGLE.COM |
Pria
yang bernama lengkap Muhammad Nashir Setiawan ini lahir di Banjarnegara tahun
1967. Ia memperoleh gelar Sarjana Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni
Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tahun 1993. Ia
melanjutkan studi S2 di Universitas Gadjah Mada pada Program Studi Pengkajian
Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa tahun 2001.
Pada
tahun 1991, Nashir magang di biro konsultan interior, PT Intercipta Bahana
dalam proyek renovasi Hotel Horizon Jakarta, Hotel Horizon Bandung, dan Hotel
Kartika Chandra Jakarta. Ia dipercaya sebagai desainer kantor Konsultan
Exhibition PT Cipta Caraka Cipta pada 1993-1996. Ia pernah menjadi anggota tim
perancang pavilion Indonesia di Hannover Messe pada 1994 dan 1995.
Tahun
1996 hingga kini, ia mengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas
Tarumanagara, Jakarta. Ia pernah menjadi Ketua Program Studi Desain Interior
pada tahun 2006-2010. Saat ini, ia menjabat sebagai Pembantu Dekan bidang
Akademik periode 2010-2014. Selain itu, ia juga menjadi dosen tamu di
Universitas Indonesia, Universitas Trisakti, Universitas Pelita Harapan,
Universitas Petra Surabaya, Institut Kesenian Jakarta, Esmod Jakarta, Raffles
Design School, STDI Interstudi, Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara,
dan Universitas Mercu Buana.
Tidak
hanya berkecimpung di dunia akademik, ia memiliki aktivitas lain seperti
menjadi anggota Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII), bagian program
pada Komunitas Indonesia’s Sketchers, desainer stand pameran, serta pemerhati
komik, kartun, dan karikatur.
Perjalanan Hidup
Sejak
kecil, Nashir menempuh pendidikan di Pondok Pesantren. Namun, Nashir merasa dia
tidak begitu nyaman belajar di pondok. Ia pun bertanya kepada beberapa orang
(dekat), apakah ia lebih cocok tetap di pondok pesantren atau di sekolah umum.
Orang di pondok itu berpendapat bahwa Nashir lebih kuat di sekolah umum. Ia
tidak hanya asal berpendapat, ia juga melihat dari sosok Nashir yang sepertinya
juga menginginkan untuk bersekolah di sekolah umum. Nashir pun mengikuti kata
hatinya, mewujudkan apa yang selama ini ia inginkan.
Ia
melanjutkan pendidikan SMA di salah satu sekolah di Yogyakarta. Setelah selesai
menempuh pendidikan SMA, ia melanjutkan studi ke Fakultas Seni Rupa dan Desain,
Institut Seni Indonesia Yogyakarta, mengambil jurusan Desain Interior. Pada
saat kuliah, ia merasa lebih terarah dalam mengembangkan talentanya yang sudah
ada sejak dulu, yakni menggambar. Ia pernah mendapatkan tugas untuk menggambar
sketsa sebanyak-banyaknya selama satu semester. Ia pun membeli kertas satu rim
untuk menyelesaikan tugasnya. Tantangan tidak sampai di situ. Ia harus
menggambar sketsa tidak dengan pensil, melainkan dengan tinta cina. Dia ingat
betul, tidak ada istilah salah gambar dalam tugas ini. Sekali salah, harus
mengulang dari awal.
Saat
memasuki semester 6, Nashir mengalami kebimbangan. Ia merasa kegemarannya
menggambar tidak begitu tersalurkan di jurusan Desain Interior. Di sana, ia
diajarkan beberapa mata kuliah yang bersifat teknis, seperti gambar teknis,
konstruksi bangunan, dan lainnya. Ia bisa mengikuti pelajaran tersebut, namun
secara kejiwaan, ia tidak terlalu suka. Ia merasa passion-nya bukan di Desain Interior.
Ia
berencana untuk pindah jurusan ke Desain Komunikasi Visual (DKV) karena di sana
lebih banyak mata kuliah yang mengharuskan untuk menggambar. Ia pun menemui
ketua jurusan DKV. Ia bercerita tentang rencana kepindahannya itu, namun ketua
jurusan menyarankan untuk tidak pindah jurusan, apalagi Nashir sudah menempuh
kuliah selama 6 semester. Ia pun mengikuti saran tersebut dan melanjutkan
kuliah di Desain Interior meskipun ia merasa ada sesuatu yang “kurang.”
FOTO: VIDYADI |
Hasil karya Nashir: Menakar Panji Koming dan
Sk3tsa (launching pada 21 April 2012)
Sebelum
lulus, ia mengikuti kerja praktek di Jakarta. Selesai kerja prektek, ia kembali
ke Yogyakarta. Teman-temannya mengetahui ia baru selesai kerja praktek di
Jakarta. Ia pun diminta untuk mengantar ke tempat kerjanya di Jakarta. Saat
pergi lagi ke Jakarta, ia menyempatkan diri untuk datang ke tempat kerjanya.
Entah, suatu keberuntungan atau tidak, ia “ditahan” di Jakarta. Ada pekerjaan
yang belum selesai dan Nashir diminta untuk menyelesaikannya. Alhasil, ia
memutuskan tinggal sementara di Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaan di
kantornya sekaligus menyusun proposal skripsi.
Nashir
pun harus bolak-balik Jakarta-Yogyakarta, ke Yogyakarta untuk menyerahkan
proposal skripsi dan ke Jakarta untuk menyelesaikan proyek. Satu tahun setelah
mengikuti kerja praktek, ia menjalani magang. Ia merasakan pentingnya mengikuti
magang. Ia mendapatkan banyak hal positif selama ia magang, seperti mendapat
banyak pengetahuan, pengalaman kerja, surat keterangan kerja, dan lainnya.
Setelah selesai magang, ia kembali ke kampus untuk menyelesaikan tugas akhir.
Setelah
lulus, ia merasakan manfaat mengikuti magang. Ia tidak perlu susah payah
mencari kerja, pekerjaan lah yang menghampirinya. Ia mendapat banyak tawaran
untuk bekerja. Mungkin karena masih ingin mengejar passion, ia memutuskan bekerja di tempat yang menyediakan
perlalatan gambar yang lengkap. Bukan melihat dari kantor, bukan melihat
lokasinya, tapi ia memilih pekerjaan berdasarkan kelengkapan alat gambar yang
ada.
Ia
pun memutuskan untuk bekerja di konsultan interior. Karena masih terobsesi
dengan kegemarannya menggambar, ia pun pindah ke konsultan exhibition. Di situ, ia bekerja membuat stand untuk pameran. Ia merasa senang dengan pekerjaan barunya ini.
Ia menggambar untuk ekshibisi, disetujui klien (deal), dan langsung dikerjakan. Ia pun dapat segera mewujudkan
rancangan gambarnya menjadi pameran yang sesungguhnya.
Namun,
di sela-sela kegembiraannya itu, Nashir “tumbang.” Ia mengalami gejala tifus
dan harus dirawat selama 10 hari. Ini terjadi akibat pola makannya yang tidak
teratur ditambah dengan seringnya begadang sehingga kurang istirahat. Sejak
saat itu, ia bekerja di bagian perancangan dan tidak lagi keluar lapangan. Akan
tetapi, ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Bukan karena masalah fisik,
tetapi karena solidaritas pertemanan. Satu teman dikeluarkan, semuanya keluar.
Nashir pun ikut keluar untuk menjaga pertemanan yang sudah terjalin. Tidak
selamanya yang buruk terlihat buruk. Keluarnya Nashir dari tempat kerjanya ini
menjadi momentum untuk memikirkan kembali apa yang ingin ia capai ke depan.
FOTO: VIDYADI |
Ilustrasi cover Berita Tarumanagara volume 78, edisi Januari 2011
karya Nashir.
Ia
berpikir bahwa ia tidak akan berkembang jika tetap berada di bidang ekshibisi
atau interior. Ia ingin belajar sesuatu hal yang baru dan tempat yang mendekati
untuk belajar kembali adalah kampus. Ia sempat berdiri cukup lama di depan
Kampus 2 Untar, mempertimbangkan kembali niatnya untuk bekerja di kampus. Selama
6 bulan, Nashir memutuskan untuk bekerja sebagai freelance. Tidak semua pekerjaannya berhubungan dengan interior,
ada pula pekerjaannya yang berkaitan dengan menggambar.
Setelah
6 bulan berlalu, ia pun memilih mengajar sebagai dosen di Untar. Saat datang ke
Untar, ia tidak langsung melamar sebagai dosen. Ia hanya ingin mengamati
seperti apa Untar itu, gaya mengajarnya seperti apa. Ia bertemu dengan beberapa
dosen dan diminta menggambar denah ruangan. Ia dapat menyelesaikan gambar
tersebut dalam 30 menit. Dosen itu pun terkejut melihat ia bisa menggambar
secepat itu. Nashir pun mengatakan bahwa ia bisa lebih cepat lagi, mengingat
ada sejumlah percakapan saat ia menggambar. Saat menggambar lagi, Nashir dapat
menyelesaikannya dalam 15 menit. Ia pun diminta langsung bekerja. Nashir pun
sempat kaget dengan proses rekrutmen yang begitu cepat. Ia langsung mengikuti
rapat menyusun rencana program ke depan. Ia pun kembali terkejut karena merasa
masih orang baru di Untar namun dipercaya mengikuti rapat yang penting.
Setelah
mengajar cukup lama, ada keinginan untuk melanjutkan studi S2. Pihak Untar pun
mengizinkan dan ia mengambil S2 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia
memilih jurusan yang masih berhubungan dengan gambar-menggambar. Menjadi dosen
pun, ia mengajar mata kuliah yang berhubungan dengan menggambar. Saat ia
mengajar mata kuliah yang cukup banyak, ia mendapatkan pengalaman yang baru,
yaitu bisa mengenal banyak mahasiswa. Namun, ia merasa pola seperti tidaklah
baik, hanya berada pada lingkup itu-itu saja, berjalan dari semester ke semester
berikutnya. Ia pun mencoba mengambil sedikit mata kuliah dan mengajar sebagai
dosen tamu di universitas lain. Ia pun bisa memperluas wawasannya dengan
mengajar di tempat lain.
FOTO: VIDYADI |
Sketsa yang digambar berdasarkan kejadian sehari-hari.
Bakat dan latihan
Menurut
Nashir, untuk menghasilkan gambar yang baik diperlukan waktu untuk berlatih
terus menerus. Memang bakat mempengaruhi bagus tidaknya suatu gambar, namun
tanpa latihan yang cukup, bakat yang ada menjadi kurang bermanfaat. Ia
mencontohkan saudaranya yang memiliki bakat di bidang menggambar. Nashir
mengakui gambar saudaranya jauh lebih bagus daripada gambarnya. Namun, saat
mendaftar untuk kuliah di ISI, Nashir yang diterima. Ini dikarenakan Nashir
memang suka menggambar, mempelajari hal-hal yang baru, dan tidak bosan untuk
berlatih.
Kecintaannya
pada menggambar membuat hari-harinya dipenuhi dengan aktivitas menggambar. Dia
menunjuk-kan sebuah buku kecil yang dibuatnya menjadi buku sketsa. Di sana,
terlihat berbagai macam gambar yang terinspirasi dari pengalamannya
sehari-hari. Ia mampu membuat gambar yang sebenarnya terlihat kurang menarik
menjadi gambar yang indah dilihat.
Muncul dari mana saja
Melihat
hasil karyanya yang begitu indah, tentu banyak yang ingin tahu dari mana
datangnya ide-ide tersebut. Nashir menjawabnya dengan begitu sederhana, “Ide
itu macam-macam. Bisa dari lihat dari lingkup peristiwa, bisa dari bacaan.
Banyak hal yang bisa membuat kita memunculkan ide.”
Media
gambar yang digunakan Nashir tidak selalu di atas kertas. Saat selesai makan di
wadah berbahan styrofoam, ia memiliki
ide untuk menggambar di atas wadah styrofoam. Wadah itu pun laku saat dijual.
Ide memang dapat muncul dari mana saja. Saat ia melihat tumpukan kardus atau
karton bekas pembungkus produk (seperti air mineral dan sebagainya), ia pun
segera menggambar di atas media itu. Secara spontan, ia melukis hal-hal yang
ada disekelilingnya. Media gambar yang berbeda-beda tidak menjadi halangan
baginya untuk menggambar. Justru, media-media sulit seperti styrofoam, karton,
kaos, akrilik, dan media lainnya menjadi sebuah tantangan yang menarik untuk
ditaklukan.
Sadar
bahwa ide bisa datang tak terduga, ia membawa peralatan gambar ke mana pun ia
beraktivitas. Peralatan gambarnya cukup praktis untuk di bawa ke mana saja,
hanya satu buah kotak berisi sejumlah peralatan gambar. Sayang, saat itu ia
tidak sempat menunjukkan “teman”nya itu saat bepergian.
FOTO: VIDYADI |
Pengamatan yang dituangkan dalam bentuk sketsa.
Musik, atasi jenuh
Dalam
setiap aktivitas yang dijalani, seringkali ditemui hambatan atau masalah.
Begitu pula dengan Nashir. Dengan berbagai aktivitas yang dijalani, ia pun
mengalami kejenuhan. “Pasti ada masa itu, tapi sebenarnya tinggal bagaimana
kita menempatkan pikiran kita saat kita jenuh,” ujar Nashir. Untuk mengusir
rasa jenuh, ia beralih ke kegiatan atau hobi lain yang ia sukai, salah satunya
adalah bermain musik.
Di
saat ia jenuh menggambar, ia bermain gitar. Tidak hanya bermain saja, tapi ia
juga menciptakan lagu. Salah satu karyanya dinyanyikan oleh anak didiknya yang sudah
lulus, dibuat sebagai perpisahan saat kelulusan mahasiswanya yang cukup dekat.
Selain itu, ia juga membuat lagu yang akan dinyanyikan pada saat peluncuran
bukunya tanggal 21 April 2012.
Mimpi keliling dunia
Saat
ditanya impiannya yang belum terwujud, ia menjawab ingin keliling dunia dan
membuat sketsa perjalanannya. Memang, ke mana pun ia pergi, seni (khususnya
gambar sketsa) akan selalu mengikutinya. Tidak hanya itu, masih banyak impian
yang saat ini belum terwujud, seperti membuat buku cerita anak-anak bergambar,
mempunyai tempat untuk anak-anak belajar mengenai kreativitas, dan membuat
album serta klip untuk lagu ciptaannya. Namun, di antara mimpi-mimpi itu, ada
yang sedang dalam tahap progress,
yaitu menunaikan ibadah haji.
Nashir
Setiawan memang sosok kreatif yang mampu memberikan inspirasi dari kisah
hidupnya. Seni memang sudah mendarah daging dalam kehidupannya. Seni lah yang
membawanya hingga hari ini. Di sini kita bisa belajar bahwa kreativitas bisa
datang dari mana saja. Orang biasa pun bisa menjadi luar biasa asal ia mau
belajar dan menggunakan kesempatan yang ada sebaik mungkin
Foto bersama Nashir Setiawan di ruangannya, FSRD
Untar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda sungguhlah berarti... :)