Sabtu, 15 Desember 2012

“Harta Karun” dari Timur

FOTO: VIDYADI

Kain tenun Timor yang dipamerkan
Beragam kreasi perempuan Indonesia tersaji di Katumbiri Expo 2012. Produk tekstil dan batik mendominasi pameran yang berlangsung hingga 9 Desember di Balai Sidang JCC, Senayan, Jakarta. Namun, dari sekian karya yang ditampilkan, terselip warisan budaya dari Timur yang memesona.
“Ini adalah kain tenun dari Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT),” ujar pemilik stand “Yasim” Regina. Kain tersebut terbuat dari kapas asli. Kapas dipelintir dengan tangan untuk memisahkan serat-serat untuk dijadikan benang. Serat tersebut dipintal lalu dipelintir lagi menggunakan tangan. Benang yang sudah jadi kemudian direbus bersama akar pohon mengkudu dan beringin. Setelah selesai dimasak, benang pun siap ditenun.
Dengan menggunakan alat tenun bukan mesin yang terbuat dari kayu, benang-benang tersebut dirangkai menjadi selembar kain. Para penenun yang mayoritas merupakan perempuan berusia lanjut dengan sabar dan teliti memasukkan sehelai demi sehelai benang ke dalam alat tenun. Memasukkan benang tidak lah asal. Mereka harus memikirkan pola yang akan dibuat agar hasil jadinya terlihat indah.

Senin, 03 Desember 2012

Hidup dalam Panggilan Jiwa

FOTO: VIDYADI
Di saat anak-anak pada umumnya bercita-cita sebagai dokter, tentara, ataupun insinyur, Donny de Keizer (36) malah bercita-cita sebagai jurnalis dan broadcaster. Sejak umur tiga tahun, ia sudah diperkenalkan dengan dunia televisi. Ayahnya memang dikenal sebagai public figure di tempat kelahirannya, Makassar, Sulawesi Selatan. Saat ayahnya diundang menyanyi di TVRI Makassar, Donny kecil diajak ikut. Ia pun sempat mengisi acara anak di stasiun TV yang sama. Di saat itulah, panggilan untuk menjadi broadcaster muncul.
Kesempatan itu baru datang ketika Donny memasuki kelas 3 SMA. Saat itu, ia bekerja sebagai presenter di TVRI Yogyakarta. Setelah dua tahun bekerja, ia pun menjadi reporter. Setelah lulus SMA, pria bernama lengkap Donny Perdana de Keizer memutuskan untuk melanjutkan studi ke sekolah yang berkaitan dengan jurnalistik dan broadcasting.
Berbagai jenjang karier telah ia lewati. Mulai dari interviewer, produser program berita hingga produser eksekutif. Lima belas tahun sudah, Donny bekerja di dunia televisi. Saat ini, ia sudah tidak mementingkan karier lagi. Fokusnya saat ini adalah menjalankan passion-nya sebagai jurnalis dan broadcaster.
Selama menjadi jurnalis, beragam kejadian pernah newscaster Beritasatu TV ini alami. Ketika melakukan tugas peliputan; ada peristiwa huru-hara, aksi demonstrasi, hingga hampir terkena peluru nyasar. Baginya, itu adalah tantangan yang wajar. Secara prinsip, ia tidak pernah merasakan beban berat. Menurut Donny, tantangan itu pasti ada, tergantung tantangan itu bagaimana disikapinya. Tantangan itu dijadikan alat untuk meningkatkan kemampuan diri.

Sabtu, 01 Desember 2012

Sama-sama Belajar, tapi…

FOTO: VIDYADI
Membagikan flyer

Jumat (5/10) menjadi hari yang cukup sibuk bagi Clarissa Gunawan (20). Mahasiswi semester 5 Jurusan Desain Interior Universitas Tarumanagara ini harus menyelesaikan beberapa tugasnya di hari yang sama. Sore itu, ia mengikuti Misa Jumat Pertama di Gedung M lantai 8 Untar. Dia bertugas sebagai dirigen paduan suara Adhyatmaka (Unit Kegiatan Mahasiswa Katolik di Untar).
Seusai memimpin paduan suara, Clar, begitu ia disapa, bergegas menuju tempat percetakan yang berada di sebelah kampus. Clar merupakan koordinator seksi publikasi dan dokumentasi dalam acara Latihan Kepemimpinan di Adhyatmaka yang akan berlangsung pada akhir Oktober nanti. Ia bertanggung jawab atas poster yang akan disebarkan sebagai promosi acara. Dia pun mengecek dengan teliti hasil cetakan poster yang telah dibuatnya selama tiga hari. Setelah diperiksa, dia segera ke Sekretariat Adhyatmaka untuk menyerahkan poster itu kepada ketua pelaksana.
Tak terasa, keringat muncul menghiasi wajahnya. Mahasiswi asal Palembang, Sumatera Selatan ini memutuskan untuk istirahat sejenak. Rasa letih muncul setelah seharian beraktivitas, namun ia tetap semangat. “Kadang kalau dipikir sih capek, cuman kan sudah memilih. Jadi, tidak boleh disesali apa yang sudah dipilih. Jalani saja,” ungkapnya.
Berorganisasi memang sudah menjadi pilihannya sejak masuk kuliah. Anak pertama dari tiga bersudara ini bergabung ke Adhyatmaka sebagai aktivis. Setelah satu tahun, Clar dipercaya sebagai Wakil Koordinator Media Informasi, salah satu seksi yang mengurus majalah “Fioretti.” Kini, ia kembali menjadi pengurus harian. Kali ini, ia menjabat sebagai Ketua Bidang II yang membawahi seksi media informasi, paduan suara, dan creative ministry (seksi yang berkaitan dengan seni drama dan tari).Di sela-sela kesibukannya, mahasiswi berkaca mata ini berusaha menyeimbangkan antara kuliah dan organisasi. “Selama ini sih, tidak mengganggu (perkuliahan). Puji Tuhan, (nilainya) masih bagus,” kata Clar. Membagi waktu antara tugas kuliah dan tugas organisasi, seperti rapat,  menjadi sebuah keharusan baginya. Memang terasa sulit, namun ini tetap harus dijalani agar keseimbangan yang diharapkannya bisa terwujud.

Kamis, 29 November 2012

Sadari Bahayanya!

Siapa yang tidak mengetahui tentang media sosial? Media yang saat ini banyak digunakan masyarakat, terutama kaum muda. Menulis status di media sosial seakan telah menjadi sebuah kebutuhan. Tanpa disadari, menuliskan status bagaikan pisau bermata dua.

Media sosial memudahkan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain di sekitarnya. Salah satu yang digemari saat ini adalah Facebook. Menurut iCrossing, perusahaan konsultan iklan di Inggris, Maret 2011, Indonesia menempati rangking kedua pengguna Facebook terbesar di dunia dengan lebih dari 35 juta pengguna.
Hasil riset Ipsos Indonesia, lembaga riset independen, pada Oktober 2011 menyebutkan pengguna Facebook di Indonesia rata-rata mengunjungi Facebook 23 kali dalam sebulan dan menghabiskan 5,5 jam dalam sebulan untuk mengakses situs jejaring sosial itu.
Adapun untuk Twitter, 4,5 juta orang Indonesia menggunakan situs micro-bloging ini. Indonesia menjadi negara terbesar ketiga pengguna twitter di dunia yang aktif mengirim sekitar 1,29 juta tweet per hari.

Senin, 26 November 2012

Menggambar dengan Hati

PICASAWEB.GOOGLE.COM
Pria yang bernama lengkap Muhammad Nashir Setiawan ini lahir di Banjarnegara tahun 1967. Ia memperoleh gelar Sarjana Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tahun 1993. Ia melanjutkan studi S2 di Universitas Gadjah Mada pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa tahun 2001.
Pada tahun 1991, Nashir magang di biro konsultan interior, PT Intercipta Bahana dalam proyek renovasi Hotel Horizon Jakarta, Hotel Horizon Bandung, dan Hotel Kartika Chandra Jakarta. Ia dipercaya sebagai desainer kantor Konsultan Exhibition PT Cipta Caraka Cipta pada 1993-1996. Ia pernah menjadi anggota tim perancang pavilion Indonesia di Hannover Messe pada 1994 dan 1995.
Tahun 1996 hingga kini, ia mengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Tarumanagara, Jakarta. Ia pernah menjadi Ketua Program Studi Desain Interior pada tahun 2006-2010. Saat ini, ia menjabat sebagai Pembantu Dekan bidang Akademik periode 2010-2014. Selain itu, ia juga menjadi dosen tamu di Universitas Indonesia, Universitas Trisakti, Universitas Pelita Harapan, Universitas Petra Surabaya, Institut Kesenian Jakarta, Esmod Jakarta, Raffles Design School, STDI Interstudi, Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara, dan Universitas Mercu Buana.
Tidak hanya berkecimpung di dunia akademik, ia memiliki aktivitas lain seperti menjadi anggota Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII), bagian program pada Komunitas Indonesia’s Sketchers, desainer stand pameran, serta pemerhati komik, kartun, dan karikatur.

Perjalanan Hidup
Sejak kecil, Nashir menempuh pendidikan di Pondok Pesantren. Namun, Nashir merasa dia tidak begitu nyaman belajar di pondok. Ia pun bertanya kepada beberapa orang (dekat), apakah ia lebih cocok tetap di pondok pesantren atau di sekolah umum. Orang di pondok itu berpendapat bahwa Nashir lebih kuat di sekolah umum. Ia tidak hanya asal berpendapat, ia juga melihat dari sosok Nashir yang sepertinya juga menginginkan untuk bersekolah di sekolah umum. Nashir pun mengikuti kata hatinya, mewujudkan apa yang selama ini ia inginkan.

Selasa, 20 November 2012

Kepedulian di Tengah Ketidakpedulian

Seperti biasa, lalu lintas Jakarta di sore hari selalu macet. Pada Senin (19/11), saya pulang dari kampus menuju ke rumah saya di kawasan Jakarta Timur. Hujan deras yang mengguyur ibu kota sore itu menambah padat arus lalu lintas. Tak hanya jalan, bus yang saya tumpangi pun juga tak kala padat.
Kala itu, saya tidak kebagian tempat duduk. Alhasil, saya harus berdiri dengan bawaan saya yang cukup banyak. Pundak dan betis pun terasa sangat pegal. Maklum, saya harus berdiri selama kurang lebih dua setengah jam. Biasanya, waktu tempuh hanya 45 menit hingga satu jam. Saya pun hanya bisa “menikmati” apa yang saya rasakan ini.
Ada pemandangan tak biasa yang saya temui saat itu. Ketika bus berada di sekitar Bunderan HI, saya melihat seorang bapak tua yang membantu pemuda yang hampir pingsan. Wajah laki-laki, yang saya perkirakan berusia sekitar 25 tahun itu, terlihat pucat. Wajahnya penuh dengan peluh, napasnya tersengal-sengal. Bahkan, ia pun tak sanggup membuka matanya.
Di saat penumpang lain hanya melihat pemuda itu, bapak tua itu sibuk membantu pemuda itu duduk. Ia bertanya kepada penumpang lain adakah yang membawa minyak angin. Beruntung, salah seorang penumpang mau meminjamkan minyak angin miliknya. Seketika, bau khasnya semerbak memenuhi bus.
Bapak itu amat perhatian. Ketika mengetahui tujuan pemuda tersebut masih jauh, ia menyarankan untuk naik ojek saja. Kekhawatiran akan menjadi korban kejahatan menjadi alasan utama. Tak hanya itu, ia memberikan nasehat kepada pemuda tersebut. “Kalau udah sampai rumah, minum teh manis,” kata bapak tua itu dengan lembut.
Sungguh, pemandangan yang cukup langka ditemukan di Jakarta. Di saat kebanyakan masyarakat hanya bisa menonton atau menyaksikan (seperti peristiwa kebakaran, kecelakaan, dan lainnya), masih ada sebagian warga yang mau membantu orang yang sedang kesusahan. Ternyata, masih ada kepedulian di antara ketidakpedulian.

Senin, 19 November 2012

Ujian Moral dalam Ujian Nasional


U
jian Nasional tingkat SMA/SMK sederajat telah diselenggarakan pada 16-19 April 2012. Secara umum, penyelenggaraan UN tahun ini berjalan lancar walau terjadi sejumlah masalah, seperti berkas soal rusak, kekurangan soal, dan soal yang tertukar.
Meskipun demikian, kecurangan saat UN masih saja terjadi. Pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), dan Koalisi Pendidikan menunjukkan, pelaksanaan UN di tujuh daerah diindikasikan terjadi kecurangan. Kecurangan dinilai semakin sistematis dan rapi sehingga sulit dibuktikan.
Sudah menjadi rahasia umum, pembelian soal dan kunci jawaban marak terjadi sebelum penyelenggaraan UN. Tidak hanya siswa, pihak sekolah pun ada juga yang membelinya. Alasannya sama, ingin agar dapat lulus. UN selama ini dinilai sebagai beban yang memberatkan dan menyengsarakan, baik untuk siswa maupun untuk pihak sekolah.
Jika melihat sistem pendidikan di Finlandia, tentu Indonesia sungguh tertinggal. Pemerintah Finlandia berhasil menyusun kurikulum yang tidak memberatkan siswanya. Siswa dapat bebas memilih ujian mana yang akan mereka lalui. Dengan demikian, siswa di Finlandia dapat berkonsentrasi penuh dengan pelajaran yang mereka kuasai. Sekolah, belajar, dan ujian menjadi hal yang menyenangkan. Bandingkan dengan pemikiran siswa di Indonesia yang masih menganggapnya sebagai momok, beban yang membuat mereka menderita.
UN seharusnya dibuat untuk menjadi alat pengukur keberhasilan proses belajar, bukan sebagai alat penentu seorang siswa lulus atau tidak. Bila UN masih digunakan sebagai penentu kelulusan, berbagai kecurangan akan terus terjadi. Mental dan moral bangsa kita akan semakin rusak jika hanya berpikir bagaimana caranya untuk lulus tanpa harus bersusah payah. Jalan pintas dengan menggunakan kecurangan menjadi pilihan utama.
Berbagai keluhan tentang UN sudah sebaiknya diakhiri. Keluhan diganti dengan pemikiran untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Kecurangan dalam UN menjadi gambaran lemahnya pendidikan karakter bangsa kita. Hasil UN dapat dijadikan bahan evaluasi untuk memperbaiki sistem pendidikan, baik pendidikan kognitif maupun pendidikan moral.

Minggu, 18 November 2012

Saat Wakil Rakyat Tak Mendengarkan Rakyat

ANTARA/PRASETYO UTOMO

Demo BBM Ricuh. Ratusan petugas kepolisian berusaha
menghalau para pengunjuk rasa di depan gedung DPR/MPR,
Jakarta, Jumat (30/3). Demo menolak kenaikan BBM akhirnya
berakhir ricuh.
Aksi demonstrasi yang terjadi sejak Selasa, 27 Maret 2012, menunjukkan bahwa rakyat dengan tegas menolak kenaikan harga BBM bersubsidi per 1 April 2012 mendatang. Unjuk rasa tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga di berbagai kota lainnya di Indonesia. Sebagian besar demo berakhir ricuh dan anarkis, suatu peristiwa yang sangat disesalkan harus terjadi!
Demontrasi pada Jumat, 30 Maret 2012, di depan Gedung DPR, Senayan seakan menjadi klimaks kekesalan mahasiswa dan rakyat yang asprasinya tidak ditanggapi anggota DPR. Mereka harus menunggu Rapat Paripurna yang diskors hingga lima jam lebih tanpa kepastian kapan dimulai. Padahal, hasil akhir rapat itu sangat menentukan nasib rakyat.
Setelah rapat dimulai pun, rakyat tidak bisa langsung mengetahui hasilnya. Sidang diwarnai dengan hujan interupsi, saling sindir, hingga sempat terjadi kericuhan. Setelah menunggu cukup lama, rakyat hanya bisa gigit jari dengan keputusan sidang yang menyetujui opsi 2, yaitu adanya penambahan pada Pasal 7 Ayat 6a yang memungkinkan adanya kenaikan harga BBM bersubsidi jika harga minyak Indonesia (ICP) berada di atas 15% dalam 6 bulan. Ini artinya, harga BBM bersubsidi bisa naik sewaktu-waktu mengikuti harga minyak dunia.
Mereka yang memilih opsi 2 adalah partai politik yang bermuka dua. Mereka dengan tegas menyatakan menolak kenaikan harga BBM pada 1 April, namun malah memilih opsi memberikan ruang untuk kenaikan harga BBM di kemudian hari. Inilah bentuk ketegasan dalam ketidaktegasan! Kalau memang menolak kenaikan harga BBM, kenapa harus memberi ruang bagi pemerintah untuk menaikan harga mengikuti harga pasar? Sungguh, suatu langkah yang hanya mengandalkan citra pro kepada rakyat, tetapi memilih keputusan yang pro pada kepentingan politik golongan tertentu.
Hasil itu memang sungguh mengecewakan rakyat. Aksi demonstrasi tolak kenaikkan harga BBM seakan menjadi sia-sia karena keputusannya tidak memihak kepada rakyat. Kini, masyarakat harus menunggu (lagi) dalam ketidakpastian, padahal harga kebutuhan pokok sudah terlanjur naik. Yang jelas, jeritan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi didengar “wakil rakyat.”

Sabtu, 17 November 2012

Kenangan Peristiwa Mei 98


Tanggal 13 Mei 1998 menjadi tanggal bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pada saat itu, Indonesia sedang dilanda krisis moneter yang semakin menyengsarakan penderitaan rakyat. Gelombang aksi protes dan demonstrasi pun terjadi di berbagai pelosok daerah, khususnya di Jakarta. Sebagian besar aksi berakhir ricuh. Masyarakat yang sudah frustasi pun mengambil kesempatan ini untuk melakukan penjarahan. Hari itu terasa sangat mencekam bagi saya dan keluarga saya.
Saat peristiwa itu terjadi, saya masih berumur 6 tahun. Saya berada di sekolah (TK) yang lokasinya tidak jauh dari rumah saya di Jatinegara, Jakarta Timur. Pagi itu, sekitar pukul 7 pagi, saya sudah berada di sekolah dan sedang bermain di area taman bermain. Dalam memori saya, sekelompok massa melewati jalan raya di depan sekolah saya. Sekolah saya berada persis di depan Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur. Massa pun berjalan dengan membawa barang yang sangat banyak. Api pun terlihat di tengah jalan raya.
Mungkin karena saya melihat ada keramaian di luar, saya pun tertarik untuk melihatnya. Saya berlari keluar untuk melihatnya, bahkan saya sempat memanjat pagar yang masih terkunci. Namun, usaha saya itu gagal karena ada petugas sekolah yang membawa saya masuk ke dalam kelas. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya selanjutnya jika saja petugas sekolah itu tidak mengamankan saya ke dalam kelas. Mungkin saya akan menjadi korban dari kerusuhan itu.
Ibu saya juga pernah menceritakan pengalaman saat terjadi kerusuhan Mei 98. Saat itu, ibu saya tidak pernah berpikir bahwa kerusuhan itu terjadi sangat cepat dan sampai ke lingkungan sekitar rumah saya. Ibu saya bercerita, kerusuhan pertama kali diketahuinya di daerah Kota, Jakarta Utara. Informasi itu didapatkan dari adik ibu saya yang tinggal bersama nenek saya di daerah Kramat Jaya Baru, Jakarta Pusat saat mendengarkan radio.
Pagi itu, seperti biasa, ibu saya sedang melakukan kegiatan rumah tangga. Telepon berbunyi dan ternyata itu berasal dari adik ibu saya. Ia mengatakan bahwa kerusuhan terjadi di Kota. Ia pun juga menyuruh ibu saya mendengarkan radio yang saat itu sedang melaporkan kerusuhan itu. Namun, karena ibu saya sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ibu saya pun tidak sempat menyalakan radio. Tidak lama setelah telepon yang pertama, adik ibu saya kembali menelepon. Ia memberi tahu bahwa massa sudah sampai di Sawah Besar. Namun, karena lokasi terjadinya kerusuhan cukup jauh, ibu saya tidak terlalu khawatir.
Beberapa menit kemudian, adik ibu saya kembali menelepon. Ia kembali menyarankan untuk mendengarkan radio untuk memantau pergerakan massa yang saat itu sudah berada di Pasar Baru. Terjadi penjarahan besar-besaran di sana. Sejumlah massa membakar ban bekas di tengah jalan, bahkan membakar juga sejumlah toko di Pasar Baru. Suasana digambarkan sangat mencekam. Ibu saya masih tetap tenang, mengingat jarak antara Pasar Baru dengan tempat tinggal kami masih cukup jauh.
Telepon pun kembali berdering, tidak lama setelah telepon yang sebelumnya. Adik ibu saya memberitahukan bahwa massa sedang bergerak ke Gunung Sahari. Namun, melihat jarak yang masih cukup jauh, ibu saya masih belum begitu khawatir. Bahkan, ibu saya sempat bepikir bahwa kerusuhan akan segera selesai dan tidak akan sampai ke daerah tempat tinggal kami.
Adik ibu saya kembali menelepon dan memberitakan bahwa massa sudah sampai ke Pasar Senen. Penjarahan dan pembakaran yang terjadi di Pasar Baru, terjadi pula di Pasar Senen. Ibu saya pun mulai khawatir dengan pergerakkan massa yang begitu cepat. Adik ibu saya pun menyarankan untuk segera menjemput kakak saya yang berumur 7 tahun (kelas 1 SD) di sekolahnya yang berada di Jatinegara Barat, Jakarta Timur. Ibu saya pun segera menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya dan bersiap-siap untuk menjemput kakak saya.
Tidak lama berselang, adik ibu saya menelepon kembali dan mengabarkan bahwa massa sudah sampai di Salemba dan sedang menuju ke arah Matraman. Mendengar hal itu, ibu saya segera berlari menuju sekolah kakak saya yang berjarak sekitar 1 km dari rumah. Setelah tiba di sekolah, ternyata pihak sekolah sudah memulangkan para siswanya. Siswa yang belum dijemput oleh orang tuanya tetap berada di kelas hingga orang tuanya datang menjemput.

SUPERKORAN.INFO

Setelah menjemput kakak saya, ternyata massa sudah berada di Matraman dan bergerak menuju ke arah Pasar Jatinegara. Di daerah itu, terdapat sebuah pusat perbelanjaan yang berada tepat di seberang Pasar Jatinegara. Di dalamnya, terdapat supermarket, department store, dan sejumlah toko. Massa pun masuk ke dalam pusat perbelanjaan tersebut dan menjarah semua barang yang berada di dalamnya. Massa pun sempat membakar bangunan tersebut.
Sudah 13 tahun kejadian itu terjadi, namun kenangan itu masih ada. Keadaan yang mencekam dan rasa takut itu masih terekam jelas di ingatan sejumlah orang yang menyaksikan dan mengalami sendiri peristiwa kelam itu. Sampai kapan pun, peristiwa Mei 98 akan menjadi sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang akan selalu dikenang.

Milik Pribadi

Welcome to my blog... :)

Nama saya Vidyadi. Saat ini, saya adalah mahasiswa Fikom Untar jurusan Jurnalistik. Blog ini merupakan blog pribadi saya. Blog ini berisi berbagai macam tulisan.

Hope you can enjoy it...
Sincerely.
Eduard Vidyadi.